Senin, 10 Mei 2010

Terorisme: Trend Global dan Implikasinya Terhadap Indonesia

Oleh: Mohammad Novel Ariyadi
Teror adalah penggunaan rasa takut untuk mencapai tujuan politik tertentu. Bukan kekerasan maupun jatuhnya korban jiwa yang jadi tujuan utamanya, namun rasa takut yang tersebar dengan cepat dan massif ke tengah-tengah masyarakat. Kepanikan massal dan keresahan sosial yang tercipta dipercaya mampu menciptakan tekanan politik yang dapat mengubah garis kebijakan politik yang diambil oleh Aktor Negara (State Actor) maupun Aktor Non-Negara (Non-State Actor).

Metode ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1793 –1794 diera Reign of Terror, semasa Revolusi perancis berkecamuk. Aksi pemenggalan kepala para lawan politik sengaja dilakukan dilapangan di depan khalayak ramai, dimaksudkan untuk menciptakan ketakutan publik, sehingga kalangan oposisi menghentikan tuntutan politiknya. Ternyata metode ini mengilhami banyak diktator pada abad-abad berikutnya untuk mempertahankan maupun untuk memperluas hegemoni politiknya, biasanya mereka didukung oleh institusi Polisi Rahasia. semisal Stalin dengan Cheka, Amerika dengan Cointelpro, Uni Sovyet dengan KGB atau Soeharto dengan BAKIN-nya.
Setelah peristiwa 11 September 2001, isyu terorisme semakin dominan. Apalagi isyu ini terbukti mampu mendesak PBB membentuk Komite Kontra Terorisme (Counter Terrorism Committee/Resolusi 1373) yang memiliki dampak signifikan di tingkat global maupun regional dan bahkan memicu intervensi sebuah Negara terhadap Negara lain, Amerika terhadap Afghanistan dan Amerika terhadap Irak. Kejadian yang terakhir bahkan tanpa mendapat restu PBB.
Implikasinya terhadap Indonesia pun tidak sederhana. Setelah Bom Bali, Indonesia makin tersudut, kalau sebelumnya dicap gudang pelanggaran HAM, kini ditambah lagi jadi gudangnya teroris. Tekanan global serta regional dan ketergantungan ekonomi Indonesia menyebabkan munculnya produk legislasi ‘pesanan’ untuk memerangsi terorisme yang ternyata membuka peluang bagi pembenaran praktek-praktek terorisme negara (State Terrorism).
BAGAIMANA TEROR BEKERJA
Penulis kisah horror ternama, Alfred Hitchcock punya prinsip menarik tentang film horror yaitu: “Putting the horror in the minds of the audience, and not necessarily on the screen”. Artinya, ukuran berhasil tidaknya sebuah film horror terletak pada muncul tidaknya rasa takut di hati para penonton ketika menyaksikan film tersebut. Mirip dengan prinsip itu, terror dikatakan sukses jika kekerasan dan korban jiwa yang jatuh ketika peristiwa berlangsung harus mampu menimbulkan rasa takut ditengah-tengah publik, dengan cepat dan massif.
Hal tersebut tidaklah mungkin dicapai tanpa adanya dukungan publisitas dari media massa. Karena itu, para pelaku terror (teroris) selalu ditantang inovasi dan kreativitasnya agar peristiwa terror yang tercipta dapat mencuri perhatian media massa, sehingga efek publisitasnya dapat menjadi katalisator rasa takut ketengah-tengah publik. Peristiwa 911 misalnya, adalah peristiwa spektakuler, yang tidak pernah terlintas dibenak siapa pun termasuk para penulis scenario film action paling canggih sekalipun. Peristiwa itu telah mampu menyudutkan setiap media massa untuk meliput keesokan harinya dengan berbagai sudut pemberitaan yang berbeda-beda. Atas dasar ini, diperkirakan kualitas aktivitas terror akan meningkat dari waktu ke waktu.
Tentunya, media massa tidak pernah berniat membantu para teroris. Namun, media massa manapun didunia ini tunduk pada hukum “Bad News is The Good News”, sebuah prinsip yang menciptakan hukum permintaan dan penawaran tersendiri dalam dunia bisnis media massa. Dan, tentunya para pelaku terror menyadari perannya sebagai news maker dan amat memahami akan kebutuhan sensasi pers para news getter. Secara umum, hubungan antara kekerasan, publisitas dan rasa takut dalam mata rantai aktivitas terror dapat dilihat seperti gambar 1.


Gambar 1. Teror: Kekerasan, Publisitas dan Rasa Takut

Kalau dilihat aspek pengorganisasiannya , tentunya Aktor Negara memiliki keunggulan dalam pengelolaan mata rantai teror jika dibandingkan dengan Aktor Non Negara, sebab mereka memiliki otoritas pengelolaan senjata, dukungan dana, aparat intelijen, perundang-undangan serta dukungan lobby internasional. Jadi tidak heran jika aktivitas terror lintas negara (Terorisme Internasional) yang disponsori oleh Aktor Negara dapat memiliki pengaruh global.
Siapapun sponsor terorisme, prinsip-prinsip operasi intelijen dengan modus covert action (aksi terselubung) selalu dikedepankan. Dua prinsip utama dalam modus ini adalah, pertama adanya cover story yang berfungsi mengamankan operasi yang bersifat underground activity, sehingga mencegah keberhasilan operasi kontra intelijen pihak lawan. Kedua, adanya kompartementasi di dalam organisasi, alur komunikasi dan koordinasi, atau yang lebih populer dengan sistem sel. Prinsip kedua inilah, yang menyebabkan pola-pola investigasi konvensional selalu gagal mengungkap siapa sebenarnya pihak sponsor. Hal ini juga yang kemudian dijadikan pembenaran penggunaan prediksi intelijen sebagai temuan awal bagi penangkapan.

Gambar2. Teror: Motif, Sponsor dan Pengorganisasiannya

RESOLUSI 1373 DAN DAMPAKNYA BAGI INDONESIA
Dua pekan setelah peristiwa 11 September 2001, PBB mengeluarkan Resolusi 1373 yang menjadi acuan Internasional dalam perang terhadap terorisme.. Resolusi itu telah menekan setiap Negara yang menjadi anggota PBB untuk melakukan sejumlah penyesuaian terhadap berbagai produk legislasi di negara masing-masing beserta penegakan hukumnya untuk bersikap keras terhadap pelaku tindak pidana terorisme beserta jaringan finansial pendukungnya dan meningkatkan berbagai kerjasama antar negara untuk memeranginya.

Resolusi itu juga telah melahirkan sebuah komite dibawah Dewan Keamanan PBB yang bernama Komite Kontra Terorisme (Counter Terrorism Committee) yang memiliki mandat untuk memonitor implementasi resolusi tersebut di Negara-negara yang menjadi anggota PBB. Hal-hal yang dimonitor oleh komite tersebut meliputi:
- Perundangan tentang Anti Teroris
- Perundangan tentang Finansial dan penegakannya (khususnya penindakan terhadap tindak pidana pencucian uang).
- Perundangan tentang keimigrasian dan penegakannya.
- Perundangan tentang ekstradisi.
- Perundangan tentang kepolisian dan penegakan hokum.
- Penyelundupan senjata illegal (Illegal Arm Trafficking).
- Dan berbagai perundangan yang dianggap relevan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.


Gambar 3. Pola tekanan internasional dan regional terhadap Negara pasca 911

Implementasi resolusi ini segera membawa dampak global maupun regional. Seluruh Negara yang menjadi anggota dibawah PBB mau tidak mau harus mengadopsi resolusi tersebut ke dalam produk legislasi di Negara mereka. Demikian juga dengan berbagai organisasi di tingkat regional di berbagai wilayah, berikut ini adalah organisasi-organisasi yang telah membuat berbagai regulasi internal terkait untuk merespon resolusi tersebut: ASEAN, APEC, Council of Europe, Uni Eropa, Financial Action Task Force (FATF), International Atomic energy Agency (IAEA), Interpol (International Criminal Police Organisation/ICPO), NATO (North Atlantic Treaty Organization), Offshore Group of Banking Supervisors (OGBS), Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), dan Organisation for Security and Co-operation in Europe (OSCE). Akibatnya, seluruh Negara-negara di dunia mengalami tekanan politik yang amat kuat untuk mengikuti mind set yang berkembang akibat perubahan isyu setelah peristiwa 911 (perhatikan gambar 3 dan gambar 4).


Gambar 4. Isyu-isyu global dan tekanan terhadap sebuah Negara pasca 911

Isyu Terrorisme kini telah menggeser dominasi isyu HAM dan Demokratisasi yang sempat menjadi mainstream utama pasca Perang Dingin. Hal ini tentunya merugikan serta mengancam hak-hak sipil dan politik warga Negara di berbagai belahan dunia. Sebab, banyak penguasa di berbagai Negara memanfaatkannya untuk membuat produk legislasi yang membenarkan tindakan terror dan represif terhadap warganya sendiri. Penelitian Human Right Watch di sepuluh Negara (China, Mesir, Georgia, India, Indonesia, Rusia, Spanyol, Inggris, Amerika dan Uzbekistan) yang dipublikasikan pada tanggal 25 Maret 2003 menunjukkan meningkatnya praktek-praktek Terorisme Negara. Bahkan mereka menyebut telah terjadi Penyalahgunaan Global (WorldWide Abuse) dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme.
Misalnya, sejak mengadopsi reoslusi itu China mengkalim telah menangkap lebih dari 1.000 muslim Uighur dengan tuduhan terlibat dalam organisasi Taliban, sebanyak 30 orang kini mendekam di penjara Guantanamo, Kuba. Di Mesir, sejak peristiwa 11 September 2001, penangkapan terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin kembali marak, berbagai kalangan dari professor, dokter, insiyur dan professional lainnya dari kelompok itu ditangkap tanpa melalui prosedur hukum yang standard. Di Georgia, kampanye anti teroris ditujukan pada komunitas Chechnya, Presiden Eduard Shevardnadze merestui ekstradisi muslim Chechnya tanpa melalui prosedur hukum ke Rusia. Di India, proses kesewenang-wenangan dimulai dengan peresmian Prevention of Terrorism Act (POTA) pada tanggal 26 Maret 2002. Yang langsung merasakan dampaknya adalah para pemimpin oposisi di India, seperti Tamil Nadu pemimpin Partai Marumalarchi Dravida Munetra Kazhakam (MDMK) ditangkap pada tanggal 11 Juli 2002 dengan tuduhan mendukung kelompok Tamil Eelam (Liberation Tigers of Tamil Eelam/LTTE). Dalam kasus-kasus tersebut, mereka ditangkapdengan tuduhan mendukung terorisme. (Lihat gambar 5, tentang penyalahgunaan kampanye anti terorisme).


Gambar 5. Penyimpangan global Resolusi 1373

Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia. Dipicu oleh peristiwa Bom Bali, pemerintah segera mengundangkan Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu No.1/2002) yang setahun kemudian digantikan oleh Undang-Undang Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme (UU No.15/2003). Ancaman bagi pelaku terorisme menurut Undang-undang itu adalah pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Sayangnya, dengan hukuman seberat itu seseorang dapat ditangkap dan menjadi tersangka tindak pidana terorisme hanya karena laporan intelijen. Dan aparat penyidik diberikan wewenang untuk menahan untuk keperluan penyidikan selama 3 hari, dapat diperpanjang menjadi tujuh hari dan dapat diperpanjang lagi selama-lamanya enam bulan.
Di lapangan, implementasi UU No.15/2003 lebih mengerikan dari pada apa yang tertulis. Dalam kasus penculikan Aktivis Masjid di akhir tahun 2003 misalnya, seseorang dapat ditangkap tanpa bukti yang kuat dan tanpa mengacu pada prosedur penangakapan di KUHAP. Sebut saja Budi, seorang sopir Caltex di Kabupaten Mandau, Duri.. Ia ditangkap dengan barang bukti sehelai tali raffia, sebuah gunting merah dan selembar kertas mika. Ia dijemput oleh rombongan aparat, gabungan antara aparat kepolisian RI dan kepolisian Australia. Keluarga korban baru mengetahui keberadaannya di penjara Polda Metro Jaya satu bulan kemudian melalui surat penangkapan yang dikirimkan dari Mabes Polri. Dan selama menghilang ia mengaku kerap menerima intimidasi fisik dan mental selama interogasi. Modus serupa dialami oleh Imam Masjid dan para da’i di berbagai daerah di Indonesia. Bentuk-bentuk penyiksaan yang dialami seperti, ditelanjangi di dalam diskotik, kekerasan fisik sehingga mengalami patah tulang, dibiarkan tanpa busana dalam ruangan yang amat dingin serta bentuk-bentuk penyiksaan lain yang lazim dilakukan selama orde baru. sJumlah korban penangkapan sewenang-wenang menurut investigasi PAHAM Indonesia lebih dari tiga puluh orang. Walaupun mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan, dan berbuntut pada pengakuan Kapolri atas kesalahan prosedur penangkapan namun hingga beberapa waktu lalu kerap dijumpai kejadian serupa.
Dalam perspektif transisi demokrasi di Indonesia, dimana pergulatan antara nilai-nilai demokratis dan nilai-nilai otoritarian belum tuntas, trend global tersebut amat menguntungkan penguasa, sebab tindakan-tindakan represif dan terror terhadap lawan politik pasti mendapat dukungan global maupun regional selama deliknya adalah tuduhan tindak pidana terorisme. Hal tersebut semakin dipermudah lagi, dengan belum jelasnya definisi terorisme . PBB sendiri belum bisa merumuskannya karena ketidaksetujuan Amerika kalau Aktor Negara dimasukkan ke dalam definisi tersebut.

AGENDA PASCA REZIM BARU
Isyu terorisme pasti akan menjadi ‘key driver’ yang mempengaruhi kebijakan rezim baru bentukan Pemilu 2004. Penolakan terhadap isyu terorisme hanya akan memojokkan gerakan pro reformasi di pojok gelap politik Indonesia, karena ia akan diserbu tidak saja oleh kekuatan politik sekuler di tingkat nasional, namun juga oleh berbagai kekuatan politik di tingkat internasional dan regional. Apalagi isyu Jama’ah Islamiyah kini telah menjadi bola liar yang dapat dimainkan oleh berbagai kekuatan politik disegala tingkatan (nasional, regional dan internasional). Hal ini diperparah dengan tidak jelasnya definisi terorisme yang memungkinkan siapa saja terjaring kedalamnya.
Jika kita berpegang pada asumsi yang berkuasa kelak adalah rezim sipil, maka institusi yang harus diperhatikan adalah aparat kepolisian dan aparat intelijen (UU No.15/2003), sebab setelah pemisahan kewenangan pertahanan dan keamanan (Tap MPR-RI No.VI/MPR/2000, tentang pemisahan TNI dan Kepolisian), maka instisusi inilah yang dibantu oleh aparat intelijen yang paling bersinggungan dengan isyu terorisme di tingkat nasional. Tidak heran, jika dalam proses penanganan tindak pidanan terorisme, kedua lembaga ini ‘naik daun’.
Beberapa agenda yang dapat disebutkan untuk menjaga lingkungan politik nasional yang kondusif bagi gerakan reformasi adalah:
1. Memformulasikan sebuah kebijakan publik yang mampu menyeimbangkan antara isyu kebebasan hak sipil dan hak politik warga Negara dengan isyu penanggulangan tindak pidana terorisme dan antara aspek keamanan Negara dengan aspek keamanan manusia (human security factor).
2. Adanya Undang-undang Intelijen yang menjamin proses akuntabilitas dan transparansi publik, sehingga berbagai proses pengajuan, pemantauan dan penghentian operasi intelijen melibatkan wakil-wakil rakyat. Saat ini, dengan posisi Kepala BIN yang setara dengan pejabat tinggi setingkat menteri, membuka kemungkinan penyalahgunaan oleh pemerintah yang berkuasa.
3. Memastikan mekanisme ‘check and balances’ antara publik (yang diwakili oleh lembaga legislative, media massa dan lembaga swadaya masyarakat) disatu pihak dengan aparat keamanan Negara (aparat kepolisian dan aparat intelijen) dipihak lain. Hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan profesionalisme aparat kemanan, sehingga berbagai tindak kesewenangan aparat yang merugikan warga negara dapat ditekan seminimal mungkin.
 Direktur Program dan FundRising PAHAM Indonesia, disampaikan dalam diskusi terbatas bertajuk “Telaah atas Terorisme Negara dan Implikasinya terhadap Indonesia” di PPSDMS Nurul Fikri, Depok, 12 Maret 2003.

0 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP